MEMBUMIKAN PANCASILA

By Humas MIN 1 Kotabaru 21 Jul 2023, 09:42:51 WIB pengetahuan
MEMBUMIKAN PANCASILA

Gambar : pancasila


MIN 1 Kotabaru. >> ASET Indonesia atas keanekaragaman budaya yang multi etnis, sangat kaya dan sangat bervariatif. Hal ini dapat dilihat dari sisi geografis dan demografis.

Dari sudut geografis, Indonesia adalah daerah tropis yang subur terdapat berbagai jenis agrikultur. Bahkan mencapai jutaan varian, suatu keajaiban tanah, sawah dan ladang. Kata Koes Plus, tongkat pun kalau ditanam akan jadi tanaman.

Ini menggambarkan kesuburan tanah Indonesia. Dan ini memengaruhi kultur daerah di antara daerah-daerah lain.

Dari sisi demografis, Indonesia terdiri dari multi etnis, sebagai perwujudan dari lukisan alam diperbagai pelosok seantero Indonesia. Dari multi etnis menimbulkan keanekaragaman peradaban yang ber- Bhineka Tunggal Ika.

Sampai saat ini multikultur dan multi etnis masih terpelihara dengan baik, meskipun ada degradasi moral sebagai pengaruh globalisasi budaya dunia yang tak terbatas, dapat melewati batas dunia manapun, tanpa dapat dikendalikan oleh siapapun, termasuk oleh kekuatan struktural.

Budaya global adalah budaya dari multi kultural, bentuk budaya baru dalam tatanan dunia baru, berbaur bersama dengan budaya-budaya lain di manapun terdapat peradaban manusia.

Sebagai implikasi adanya budaya baru, terdapat bentuk tindakan deviatif yang menyimpang dari budaya positif, yang berlaku dan disepakati. Di antaranya adalah bentuk-bentuk kejahatan yang berdimensi baru, sebuah komunitas baru dunia kejahatan, yang meninggalkan komunitas lama yang konvensional. Hal ini merupakan pengaruh negatif terhadap keamanan dalam negeri.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memicu perkembangan globalisasi di semua aspek kehidupan bermasyarakat, baik dalam suatu negara maupun peradaban dunia.

Dalam suatu negara telah memiliki peraturan yang terimplementasikan kedalam suatu budaya yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat interaksi antarmanusia dalam pola kehidupan sehari-hari.

Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berdaulat, telah memiliki sejarah budaya yang cukup panjang dan membanggakan. Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia dikenal di masyarakat dunia sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan budaya luhur.

Budaya bangsa Indonesia yang patut kita banggakan antara lain sifat gotong-royong, sopan-santun, ramah dan menghargai orang lain.

Namun sejak bergeloranya era globalisasi, semua karakteristik budaya bangsa yang membanggakan tersebut secara perlahan terdesak dengan masuknya budaya asing yang tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan budaya nasional/lokal.

Sifat sopan-santun, ramah, dan gotong royong telah berubah menjadi individualistis, arogan dan tidak peduli.

Perubahan yang begitu cepat melanda segala aspek kehidupan. Percepatan transformasi budaya global ke berbagai negara diakibatkan oleh berbagai masalah yang runyam.

Contoh konkretnya adalah budaya dan norma baru belum sepenuhnya diterima oleh bangsa Indonesia, sementara budaya lama yang telah dianut bangsa Indonesia mulai ditinggalkan.

Kondisi ini akan menimbulkan bangsa Indonesia dalam transisi budaya. Dengan demikian, konsep globalisasi menjadi wacana, apakah budaya global dapat diterima oleh suatu negara.

Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai budaya Indonesia, yang digali nilai-nilai luhur Bangsa sejak zaman dahulu kala, saat pemerintahan kerajaan Hindu maupun Islam, sampai dengan Pemerintahan saat ini, dan kemudian dirumuskan dengan susah payah oleh para pejuang nasional di dalam rumusan sebanyak Lima Sila.

Masing-masing sila mempunyai makna filosofis yang dalam bagi kepribadian bangsa Indonesia, di tengah kepungan globalisasi budaya internasional, regional.

Pancasila adalah ciri khas budaya nasional yang multi etnis, sila-sila dalam Pancasila itu memenuhi elemen seluruh bangsa yang agamis, nasionalis dan lain-lain.

Saat ini penghargaan terhadap Pancasila agak kendur, sementara arus globalisasi masuk ke Indonesia tak terbendung sama sekali bagaikan air bah.

Satu-satunya yang bisa mengendalikan adalah Pancasila sebagai ukuran berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Ideal kultur Pancasila yang meliputi Kerukunan umat beragama, Keadilan sosial, Kedaulatan rakyat, Kemanusiaan dan Kebangsaan.

Oleh karenanya, direkomendasikan agar segera mempraktikkan kembali budaya berpancasila, untuk menunjukkan karakter Indonesia di mata dunia luar, sehingga dapat dijadikan patokan pola hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat Indonesia.

Selain itu, Pancasila dapat dijadikan tolok ukur bersama dengan tolok ukur lainnya.

Kemudian Sistem Pendidikan Nasional sebagai kebutuhan yang mendesak untuk mengurangi lost generation akibat krisis ekonomi yang berkepajangan, atau dapat segera menggantikan generasi pendahulu.

Selain itu, akumulasi budaya Indonesia yang multi etnis menimbulkan kesulitan untuk menyamakan persepsi Nasional. Banyak titik singgung yang sensitif akibat adanya ego kepentingan dan perbedaan, sehingga perlu segera rekonsiliasi Nasional untuk membangun konsep negara yang maju dan futuristik.

Pendidikan modal dasar

Dunia pendidikan menjadi barometer, terkait bagaimana teladan itu membumi. Jangan sampai dunia pendidikan justru disibukkan dengan persoalan-persoalan yang tidak substantif, hingga waktu jadi korban.

Bukannya fokus untuk kemajuan keilmuan, malah cenderung direpotkan hal-hal yang bersifat formal. Bahkan ada pameo di kalangan masyarakat kita ‘jangan-jangan kalau mau mampir ke angkringan saja harus pakai nota’.

Inilah sedikit gambaran, ketika sistem masih disandera oleh mental yang bersifat formal, ada ketakutan luar biasa yang sebenarnya diawali dari makna sederhana, yakni “kejujuran”.

Pendidikan seakan terhenti pada persoalan administratif, makna pengajaran hilang, penelitian dan penulisan karya ilmiah rapuh, sehingga waktu pembelajaran kita banyak yang terbuang sia-sia.

Permasalahan mendasar dalam pendidikan bangsa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan dasar, lebih-lebih yang mengacu pada pembangunan mental dan karakter.

Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara birokratif-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah/tempat pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokratis yang mempunyai jalur yang sangat panjang.

Kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah/tempat pendidikan setempat.

Dunia pendidikan bukanlah kantor, bukan pabrik, dan juga bukan perusahaan an sich. Dunia pendidikan adalah suatu entitas bagi pengembangan pengetahuan dan keilmuan yang tujuannya adalah menciptakan masyarakat bangsa yang berpengetahuan.

Kita seharusnya tahu bahwa kebijakan pendidikan adalah bak peta bagi pendidik/pengajar yang hendak menjelajahi suatu wilayah.

Kebijakan pendidikan bukan hanya pendataan yang akan memberi arah untuk memudahkan mencapai tujuan. Dia harus mampu memberi alternatif solusi atas permasalahan yang selama ini terjadi di dunia pendidikan bangsa ini.

Integrasi keilmuan Pancasila dan budi pekerti harus disegerakan, baik dalam kebijakan maupun materi pendidikan. Kita sudah pernah dan dianggap gagal jika hanya membelajarkan tentang “Pancasila”, tanpa kemudian memberi ruang kreatifitas yang implementatif.

Jangan lagi ada materi yang disajikan di sekolah terasa memberatkan. Misalnya, di tingkat sekolah dasar atau madrasah ibtidayah tidak perlu terlalu teoritis dan serasa kabur dengan jargon-jargon legal-formal, tetapi lebih baik diberikan dalam bentuk kisah-kisah keteladanan yang menggugah atau dalam istilah agama adalah disebut dengan “Uswah Hasanah”.

Tentu, tidak semuanya harus dibebankan pada pengajar/pendidik. Semua pihak harus ikut serta. Semua pihak terkait harus dapat memberikan inspirasi bagaimana kejujuran adalah nilai dasar yang tidak terkurangi sedikit pun.

Sebab, sekarang ini dikhawatirkan bahwa negara ini bukan lagi menjadi tempat bersemainya kejujuran yang berujung pada sulitnya memanen keteladanan.

Keluhuran Pancasila sudah menjelma dalam diri bangsa. Kendati banyak peristiwa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, tapi bagaimanapun Pancasila sudah menjadi harga mati. Ini adalah harga yang tidak bisa dikompromikan lagi.

Secara garis besar yang menjadi masalah tentu bukan terletak pada isi Pancasilanya atau keberadaannya, tapi individu yang mulai meninggalkan dan membenturkannya dengan kepentingan perseorangan yang kontradiktif dengan Pancasila itu sendiri.

Seharusnya selama kita menginjakan kaki di Indonesia, maka selama itu pula Pancasila akan selalu terpatri dalam diri kita masing-masing. Para founding father (pendiri bangsa) kita juga dulu merumuskannya dengan penuh perjuangan dan pertimbangan.

Perjalanan panjang dalam merumuskan Pancasila sebagai ideolologi dari dulu hingga sekarang memakan waktu yang tidak sedikit, tenaga dan pemikiran. Pun itu dirumuskan dan digodok oleh orang-orang yang terhimpun dari seluruh penjuru nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Termasuk proklamator kita, Soekarno.

Dengan proses panjang itulah, maka Pancasila hadir di tengah-tengah kita saat ini dengan rupa dan wujud yang paripurna. Keberadaan Pancasila sebagai dasar negara sudah berada pada tahap kesempurnaan.

Keluhuran Pancasila yang terkristalisasi dalam lima sila sejatinya bisa diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jadi, sekali lagi letak masalahnya bukan pada Pancasilanya, tetap kitanya yang belum sanggup sepenuhnya untuk menunaikan amanat agung dan mulia Pancasila itu.

Kalau kita kembali kebelakang tentang perjalanan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara, kita senantiasa selalu dikawal dan dilindungi oleh Pancasila.

Bukankah sejak Pancasila dijadikan sebagai dasar negara, maka arah bernegara kita semakin jelas dan terang? Karena tujuan bangsa kita memang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.

Lantas apa yang seharusnya kita lakukan agar dapat membumikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa, termasuk ke dalam diri kita masing-masing sebagai bangsa Indonesia?

Karena tidak ada manfaatnya jika kita memiliki ideologi yang bagus dan sempurna tetapi tidak dapat diterjemahkan dalam hidup sehari-hari.

 




Tampilkan Komentar

Tulis Komentar